Cerita Perempuan Australia yang Jatuh Cinta pada Alat Musik Bundengan - Bukan Akun Gosip

Breaking

Gosap-Gosip Yang Penting Asik

Sunday, January 13, 2019

Cerita Perempuan Australia yang Jatuh Cinta pada Alat Musik Bundengan


Rossie Cook, warga Australia ikut memainkan alat musik unik Bundengan, di Wonosobo, Jawa Tengah, Kamis (16/3/2017)(Dok Humas Pemkab Wonosobo) WONOSOBO, KOMPAS.com - Kowangan atau bundengan adalah alat musik asli dataran tinggi Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Konon, alat musik petik yang terbuat dari bambu itu sudah ada sejak abad ke-12 silam. Suara yang dihasilkan unik dan beragam, bisa menyerupai kendang, ketipung, bahkan bas bethot. Keunikan Bundengan ini menarik perhatian seorang konservator asal Australia, Rossie Cook, yang beberapa tahun terakhir mempelajari alat musik ini. Rossie suka memainkan bundengan. Rossie bercerita, kecintaannya kepada alat musik tradisional itu berawal ketika Universitas Monash Australia memintanya untuk memperbaiki dan merawat bundengan. Benda itu dinilai aneh oleh Rossie sehingga dia mulai berburu informasi di internet dan referensi lainnya. Hingga suatu ketika ia menemukan video Bundengan di sosial media YouTube. Rossie Cook (kanan), warga Australia yang menyukai alat musik bundengan, di Wonosobo, Jawa Tengah, Kamis (16/3/2017)(Dok Humas Pemkab Wonosobo) Dalam video itu, seorang seniman asal Kalijajar Wonosobo bernama Munir memainkan bundengan dengan indah. Rossie langsung jatuh cinta dengan alat musik ini. "Butuh waktu lama sampai akhirnya saya menemukan sebuah video Pak Munir sedang memainkan Bundengan. Dari situlah saya memahami bahwa benda yang sedang saya coba perbaiki di Universitas Monash Kowangan atau Bundengan ini,” ujar Rossie dalam kegiatan workshop bundengan di Pendopo Kabupaten Wonosobo, Kamis (16/3/2017). Sejak itu, dia terus menggali informasi tentang bundengan sekaligus mempelajarinya. Pada Agustus 2016, Rossie terbang ke Wonosobo untuk bertemu langsung dengan seniman Munir dan Buchori di Desa Ngabean, Kecamatan Kalijajar, Kabupaten Wonosobo. Bahkan, pada kunjungan pertamanya itu, dia berkesempatan juga bertemu dengan Mahrumi, seorang pembuat bundengan. “Bundengan ini sangat unik. Karena ternyata biasa dipakai buat topi para penggembala itik di sawah. Tapi juga bisa dimainkan," ungkapnya. Rossie sempat merasa khawatir bundengan akan punah karena alat musik tidak sepopuler alat-alat musik modern saat ini. Aktivitas menggembala itik di sawah juga sudah jarang dilakukan, apalagi di kota-kota besar. Dia pun gencar melakukan "kampanye" pelestarian bundengan di negaranya dan khususnya di Wonosobo. Rossie marasa bahagia setelah mengetahui siswa-siswa sekolah dasar dan SMP di Wonosobo mulai diajarkan musik Bundengan. Seperti di SMP 2 Selomerto Wonosobo. Di sekolah tersebut, ada seniwati sekaligus guru bernama Mulyani yang mengajar Bundengan. Dari situ, dia optimistis bundengan akan digemari generasi muda dan keberadaannya tetap lestari hingga masa mendatang. "Semoga kesenian bundengan akan terus ada," ucapnya. Bambang Sutejo, Kepala Bidang Informasi dan Komunikasi Publik Kabupaten Wonosobo, menjelaskan, bundengan tidak sekedar alat musik. Bundengan mengandung filosofi tentang seni, sosial dan budaya masyarakat. "Dalam kesenian bundengan ini terkandung makna filosofi dan pendikan karakter yang apabila diajarkan kepada anak-anak akan mampu membekali mereka untuk tumbuh menjadi manusia penuh tanggung jawab dan bermental kuat,” ujar Bambang. Menurut dia, semua elemen masyarakat bertanggung jawab ikut melestarikannya sebab alat musik ini termasuk cagar budaya yang memiliki nilai historis tinggi. Masyarakat dataran tinggi sudah gemar memainkannya sejak masa penjajahan kolonial ratusan tahun silam.

No comments:

Post a Comment